Mengenal Pajak Penghasilan: Pengertian & Contoh Mudah
Pajak Penghasilan, atau yang sering disingkat PPh, adalah salah satu jenis pajak yang paling familiar bagi banyak orang, terutama bagi mereka yang berstatus sebagai karyawan atau memiliki usaha. Gampangnya, ini adalah pajak yang dikenakan oleh negara atas penghasilan yang kamu dapet atau hasilin selama periode waktu tertentu, biasanya satu tahun. Penghasilan ini bisa datang dari berbagai sumber, lho. Mulai dari gaji yang kamu terima tiap bulan, keuntungan dari bisnis yang kamu jalankan, sampai bunga deposito atau hadiah undian yang nggak terduga.
Tujuan utama PPh ini adalah buat negara punya sumber duit untuk membiayai segala macam keperluan publik. Bayangin aja, dari PPh ini lho negara bisa bangun jalan tol, sekolah, rumah sakit, kasih subsidi, bayar gaji pegawai negeri, sampai membiayai program sosial kayak BLT (Bantuan Langsung Tunai). Jadi, setiap rupiah PPh yang kamu bayar itu sebenarnya punya peran penting dalam roda pembangunan dan pelayanan publik di negara kita. Landasan hukum PPh di Indonesia itu ada di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, yang kemudian sudah diubah beberapa kali sampai yang terbaru sekarang. Memahami PPh itu penting banget supaya kita sebagai warga negara yang baik bisa ngejalanin kewajiban perpajakan dengan benar dan nggak nyasar.
Siapa Sih yang Wajib Membayar PPh?¶
Nah, nggak semua orang otomatis jadi wajib pajak PPh. Ada kriteria tertentu yang membuat seseorang atau sebuah badan usaha kudu membayar PPh. Secara garis besar, yang disebut Subjek Pajak Penghasilan itu ada dua jenis: Orang Pribadi dan Badan. Orang Pribadi itu ya kita-kita ini, perorangan. Sementara Badan itu bisa perusahaan, koperasi, yayasan, atau organisasi lainnya yang punya status hukum. Tapi nggak cuma itu, ada juga klasifikasi berdasarkan domisili atau keberadaan fisik mereka.
Subjek Pajak ini dibagi lagi jadi Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) dan Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN). SPDN adalah orang pribadi yang tinggal di Indonesia, atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau yang punya niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Mereka yang masuk kategori SPDN ini dikenakan pajak atas seluruh penghasilan yang mereka terima atau peroleh, baik dari Indonesia maupun dari luar negeri (global income principle).
Sementara SPLN adalah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, tidak berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, tapi menerima penghasilan dari Indonesia. Bisa juga berupa badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, tapi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia atau menerima penghasilan dari Indonesia. SPLN ini hanya dikenakan pajak atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia saja. Jadi, status domisili atau keberadaan ini menentukan sejauh mana penghasilan mereka dikenakan pajak oleh negara kita.
Selain subjek pajak, ada juga yang namanya Objek Pajak. Objek Pajak Penghasilan itu adalah segala tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan. Gampangnya, segala bentuk duit atau nilai duit yang masuk ke kantong kamu atau perusahaanmu, itu bisa jadi objek pajak. Contohnya gaji, upah, tunjangan, honorarium, hadiah, laba usaha, dividen, bunga, royalti, sewa, sampai keuntungan dari penjualan harta.
Tapi, perlu diingat, nggak semua penghasilan itu langsung kena pajak. Ada juga penghasilan-penghasilan yang dikecualikan dari objek PPh. Contohnya bantuan atau santunan dari BPJS, warisan yang diterima ahli waris, harta hibahan (dengan syarat tertentu), atau beasiswa. Jadi, penting juga nih buat tahu mana yang kena pajak, mana yang nggak.
Gimana Sih PPh Dihitung Secara Garis Besar?¶
Menghitung PPh itu sebenarnya punya rumus dasar, meskipun detailnya bisa beda-beda tergantung jenis penghasilannya dan siapa yang bayar pajak (orang pribadi atau badan). Tapi kalau dilihat secara garis besar, alurnya itu kira-kira begini: pertama, kamu ngumpulin dulu semua penghasilan bruto yang kamu dapat selama setahun. Penghasilan bruto ini adalah total penghasilan sebelum dikurangi biaya-biaya.
Setelah dapat penghasilan bruto, kadang ada biaya-biaya yang boleh dikurangkan sesuai aturan pajak. Misalnya, kalau kamu karyawan, ada biaya jabatan atau iuran pensiun. Kalau kamu pengusaha, ada biaya-biaya operasional usaha. Setelah dikurangi biaya-biaya ini, dapatlah Penghasilan Netto. Nah, buat Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri, Penghasilan Netto ini masih bisa dikurangi lagi dengan yang namanya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
PTKP ini semacam ambang batas penghasilan. Kalau penghasilan netto kamu setahun itu di bawah atau sama dengan PTKP, artinya kamu nggak punya Penghasilan Kena Pajak, jadi PPh terutangmu nihil (nol). Tapi kalau Penghasilan Netto kamu di atas PTKP, nah selisihnya itulah yang disebut Penghasilan Kena Pajak (PKP). PKP inilah yang kemudian dikalikan dengan tarif pajak yang berlaku.
Kalau buat Wajib Pajak Badan, perhitungannya agak beda. Mereka juga menghitung penghasilan netto (sering disebut laba fiskal). Tapi mereka nggak punya PTKP. Laba fiskal ini langsung dikalikan dengan tarif PPh Badan yang berlaku. Sistem tarif pajak juga beda-beda. Untuk Orang Pribadi, tarifnya bersifat progresif, artinya makin besar PKP-nya, makin tinggi lapisan tarif pajak yang dikenakan. Sementara untuk Badan, tarifnya cenderung proporsional atau tetap pada satu persentase untuk laba kena pajak tertentu.
Ini visualisasi sederhana alur perhitungan PKP untuk Orang Pribadi:
mermaid
graph TD
A[Penghasilan Bruto Setahun] --> B[Kurangi Biaya-biaya yang Diizinkan];
B --> C[Penghasilan Netto];
C --> D[Kurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)];
D --> E[Penghasilan Kena Pajak (PKP)];
E --> F[Kalikan dengan Tarif PPh];
F --> G[PPh Terutang];
Diagram di atas menunjukkan alur umum dari penghasilan kotor sampai menemukan jumlah pajak yang terutang. Tentu saja, detail biaya yang boleh dikurangkan atau besaran PTKP bisa berubah dari waktu ke waktu dan ada banyak aturan spesifik lainnya. Makanya, buat yang penghasilannya kompleks, seringkali butuh bantuan ahli pajak.
Ragam Jenis Pajak Penghasilan Berdasarkan Pasalnya¶
Dalam Undang-Undang PPh, kamu akan menemukan berbagai Pasal yang mengatur jenis-jenis PPh berdasarkan sumber penghasilan atau status pemotong/pemungutnya. Ini nih beberapa yang paling umum dan sering kita dengar:
-
PPh Pasal 21: Ini adalah PPh yang dikenakan atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang diterima Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri. Contoh paling gampang ya PPh yang dipotong dari gaji bulananmu kalau kamu karyawan. Pemberi kerja (perusahaan) yang punya kewajiban untuk menghitung, memotong, menyetor, dan melaporkan PPh 21 karyawannya.
-
PPh Pasal 22: Pajak ini dikenakan atas kegiatan impor barang atau kegiatan usaha tertentu seperti pembelian barang oleh bendahara pemerintah atau badan-badan tertentu. PPh 22 ini sifatnya nggak selalu final, bisa juga jadi kredit pajak (pengurang) di akhir tahun.
-
PPh Pasal 23: Dikenakan atas penghasilan berupa dividen (kecuali untuk WP OP), bunga, royalti, sewa selain tanah/bangunan, dan imbalan sehubungan dengan penggunaan jasa (teknik, manajemen, konsultan, dll). Pajak ini dipotong oleh pihak yang membayarkan penghasilan tersebut (Badan atau SPDN tertentu) kepada penerima penghasilan.
-
PPh Pasal 25: Ini adalah pembayaran pajak penghasilan secara mengangsur atau mencicil yang dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri dalam satu tahun pajak. Tujuannya biar nggak keberatan bayar pajak setahun sekali dalam jumlah besar. Besarnya angsuran PPh Pasal 25 ini biasanya dihitung berdasarkan PPh terutang tahun sebelumnya.
-
PPh Pasal 26: Pajak ini dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri (selain Bentuk Usaha Tetap di Indonesia) dari Indonesia. Contohnya dividen, bunga, royalti, atau gaji yang dibayarkan oleh pihak di Indonesia kepada orang atau badan di luar negeri. Tarifnya umumnya 20%, tapi bisa lebih rendah kalau ada perjanjian pajak antarnegara (Tax Treaty).
-
PPh Pasal 4 Ayat 2 (Final): Nah, ini beda nih. PPh yang dikenakan berdasarkan pasal ini sifatnya final. Artinya, pajak yang sudah dipotong atau dibayar itu dianggap selesai dan tidak bisa dikreditkan atau dikurangkan dari total PPh terutang di akhir tahun. Contoh penghasilan yang kena PPh Final antara lain: penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan, bunga deposito, hadiah undian, penjualan saham di bursa efek, dan penghasilan dari usaha yang diterima Wajib Pajak yang peredaran brutonya tidak melebihi jumlah tertentu (untuk UMKM).
-
PPh Badan: Ini adalah PPh yang dikenakan atas laba yang diperoleh oleh Wajib Pajak Badan (perusahaan, koperasi, dll). Seperti yang sudah dijelaskan di atas, perhitungannya agak berbeda dengan PPh Orang Pribadi karena tidak ada PTKP, dan tarifnya juga berbeda.
Masing-masing pasal ini punya aturan detail yang spesifik, seperti tarif pajak, siapa yang memotong/memungut, dan kapan harus disetor serta dilaporkan. Memahami perbedaan ini membantu kita menentukan jenis PPh mana yang relevan dengan kondisi penghasilan kita atau bisnis kita.
Kenapa Sih PPh Itu Penting Banget Buat Negara?¶
Seperti yang sudah disinggung di awal, PPh itu ibarat “darah” bagi keuangan negara. Kontribusinya terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) itu gede banget, seringkali menjadi penyumbang terbesar dibandingkan jenis pajak lainnya. Tanpa penerimaan dari PPh, negara bakal kerepotan membiayai berbagai program dan kegiatan yang vital bagi kesejahteraan masyarakat dan kemajuan bangsa.
Dana dari PPh ini dipake buat:
- Pembangunan Infrastruktur: Membangun dan memelihara jalan, jembatan, pelabuhan, bandara, irigasi, dan infrastruktur publik lainnya yang krusial untuk perekonomian dan mobilitas masyarakat.
- Sektor Pendidikan: Membiayai sekolah negeri, gaji guru, beasiswa, penelitian, dan program-program peningkatan mutu pendidikan agar generasi penerus bangsa lebih cerdas dan kompetitif.
- Sektor Kesehatan: Membangun dan mengoperasikan rumah sakit dan puskesmas, membiayai program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), pengadaan obat-obatan, dan layanan kesehatan masyarakat lainnya.
- Subsidi dan Bantuan Sosial: Memberikan subsidi untuk kebutuhan pokok (listrik, bahan bakar tertentu - meski jumlahnya makin berkurang), serta menyalurkan berbagai program bantuan sosial untuk kelompok masyarakat yang membutuhkan.
- Pertahanan dan Keamanan: Membiayai TNI dan Polri untuk menjaga kedaulatan dan keamanan negara.
- Pelayanan Publik Lainnya: Gaji pegawai negeri, operasional lembaga negara, dan berbagai pelayanan publik lainnya.
Intinya, pajak yang kita bayar itu kembali lagi ke masyarakat dalam bentuk fasilitas dan pelayanan yang kita nikmati bersama. Membayar PPh dengan benar dan tepat waktu itu bukan cuma kewajiban hukum, tapi juga wujud kontribusi nyata kita sebagai warga negara untuk membangun negara yang lebih baik. Ini adalah bentuk gotong royong dalam skala nasional.
Fakta Menarik Seputar Pajak Penghasilan¶
Pajak itu punya sejarah panjang, lho. Di Indonesia sendiri, sistem perpajakan modern termasuk PPh mulai diperkenalkan sejak era kolonial Belanda. Namun, Undang-Undang Pajak Penghasilan yang menjadi cikal bakal peraturan PPh modern di Indonesia baru lahir setelah kemerdekaan, yaitu UU No. 7 Tahun 1983 yang berlaku mulai 1 Januari 1984, menggantikan peraturan pajak sebelumnya yang warisan Belanda (ordonansi).
Salah satu fakta menarik PPh Orang Pribadi adalah adanya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang jumlahnya terus disesuaikan dari waktu ke waktu. Penyesuaian ini biasanya dilakukan untuk menjaga daya beli masyarakat dan mempertimbangkan inflasi. Jadi, jumlah PTKP saat ini mungkin berbeda dengan 5 atau 10 tahun lalu. PTKP ini juga berbeda tergantung status perkawinan dan jumlah tanggungan (anak atau keluarga sedarah/semenda dalam garis lurus) yang sah. Status lajang jelas beda PTKP-nya sama yang sudah menikah dan punya anak.
Fakta lain, meskipun PPh terkesan kompleks, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus berinovasi untuk mempermudah prosesnya. Dulu, lapor SPT PPh itu harus antre panjang di kantor pajak, sekarang sudah ada e-Filing dan e-Form yang bisa dilakukan dari rumah atau kantor kapan saja, 24 jam sehari, 7 hari seminggu, selama masih dalam batas waktu pelaporan. Pembayarannya pun dipermudah dengan e-Billing yang bisa dibayar melalui berbagai kanal (bank, ATM, internet banking, mobile banking, kantor pos, dll). Ini kemajuan yang patut diapresiasi.
Ada juga mitos yang bilang kalau sudah dipotong PPh oleh pemberi kerja (PPh 21), berarti urusan pajak sudah selesai. Ini belum tentu benar! Bagi sebagian orang, PPh 21 yang dipotong itu sudah final, tapi banyak juga yang tetap wajib lapor SPT Tahunan PPh Orang Pribadi untuk menghitung ulang seluruh penghasilan setahun, membandingkan dengan PPh yang sudah dipotong/dibayar, dan mengetahui apakah ada kurang bayar, lebih bayar, atau nihil. Terutama kalau punya penghasilan lain selain gaji atau punya tanggungan yang berubah.
Tips Mengelola PPh Pribadi dan Bisnis Kamu¶
Biar urusan PPh nggak bikin pusing, ada beberapa tips sederhana yang bisa kamu terapkan:
- Catat Penghasilan dan Pengeluaran: Ini kunci utama! Baik sebagai individu maupun pebisnis, punya catatan keuangan yang rapi itu penting banget. Buat yang bisnis, pisahkan rekening pribadi dan bisnis. Catat semua pemasukan dan biaya yang relevan. Ini bakal sangat membantu saat menghitung penghasilan netto dan biaya-biaya yang boleh dikurangkan.
- Pahami Hak dan Kewajiban Pajakmu: Jangan malas baca aturan (atau ringkasannya di website DJP atau sumber terpercaya). Pahami PTKP terbaru (kalau kamu OP), jenis-jenis biaya yang boleh dikurangkan, dan tarif pajak yang berlaku untuk jenis penghasilanmu.
- Manfaatkan Fitur Online DJP: Gunakan e-Billing untuk membuat kode bayar dan e-Filing/e-Form untuk melaporkan SPT Tahunan. Ini jauh lebih praktis, hemat waktu, dan bisa dilakukan kapan saja. Kalau ada kesulitan, banyak panduan online atau bisa hubungi kring pajak 1500200.
- Siapkan Dokumen Pendukung: Simpan bukti potong PPh (seperti Formulir 1721 A1/A2 dari pemberi kerja), bukti bayar PPh (kalau ada), dan dokumen lain yang relevan (misal bukti pembayaran zakat yang bisa jadi pengurang). Ini penting kalau sewaktu-waktu ada pemeriksaan.
- Konsultasi dengan Ahli Pajak: Kalau penghasilanmu kompleks, punya bisnis dengan berbagai transaksi, atau ragu dalam menghitung/melapor, jangan ragu konsultasi dengan konsultan pajak terdaftar. Biaya konsultasi mungkin ada, tapi bisa mencegah kesalahan yang malah berujung denda atau sanksi yang lebih besar.
- Bayar dan Lapor Tepat Waktu: Ini paling penting. Ada sanksi denda kalau telat bayar atau telat lapor. Catat tanggal-tanggal penting pelaporan (misal SPT Tahunan OP paling lambat 31 Maret, SPT Tahunan Badan 30 April) dan pembayaran angsuran PPh Pasal 25 setiap bulannya. Disiplin itu kunci!
Mengelola PPh itu bukan tentang menghindari pajak, tapi tentang memenuhi kewajiban sesuai aturan yang berlaku dan mengelolanya agar tidak memberatkan dan terhindar dari sanksi.
Gampang Kok, Bayar PPh Zaman Sekarang!¶
Kalau dulu bayar pajak mungkin ribet, sekarang Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sudah menyediakan berbagai fasilitas digital yang bikin prosesnya jauh lebih mudah. Kamu bisa bikin kode bayar (kode billing) melalui e-Billing di website DJP Online, internet banking, atau bahkan melalui aplikasi pembayaran online lainnya. Kode billing ini kayak nomor virtual rekening tujuan pembayaran pajakmu.
Setelah dapat kode billing, kamu bisa langsung bayar lewat berbagai kanal pembayaran yang tersedia. Bisa ke teller bank, ATM, internet banking, mobile banking, atau bahkan melalui dompet digital tertentu yang sudah bekerja sama. Bukti pembayarannya biasanya langsung tercatat secara elektronik atau kamu dapat struk/notifikasi sebagai bukti.
Setelah bayar (kalau ada PPh yang harus dibayar sendiri atau kurang bayar), kamu tinggal lapor Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh melalui e-Filing atau e-Form di website DJP Online. Kamu tinggal input data penghasilan, data harta, data utang, dan data tanggungan sesuai dengan kondisi sebenarnya. Sistem akan menghitung otomatis PPh terutangmu dan membandingkan dengan PPh yang sudah dipotong pihak lain atau sudah kamu bayar sendiri. Kalau sudah pas, tinggal submit. Beressss! Proses lapor SPT online ini biasanya cuma butuh waktu nggak nyampe 15-30 menit kalau data-datamu sudah siap.
Jadi, nggak ada alasan lagi buat males atau bingung soal PPh. Informasi dan fasilitasnya sudah tersedia luas. Yang penting ada kemauan untuk belajar dan disiplin dalam mencatat serta melaporkan.
Pajak Penghasilan memang salah satu elemen penting dalam sistem keuangan negara. Memahami apa itu PPh, siapa yang kena, bagaimana cara menghitungnya (secara garis besar), jenis-jenisnya, dan kenapa PPh itu krusial, adalah langkah awal menjadi Wajib Pajak yang patuh dan berkontribusi pada pembangunan bangsa. Kewajiban ini mungkin terasa memberatkan bagi sebagian orang, tapi dampaknya kembali ke kita semua dalam bentuk fasilitas dan layanan publik yang lebih baik.
Gimana, sekarang sudah lebih paham kan apa yang dimaksud dengan Pajak Penghasilan?
Kalau kamu punya pertanyaan atau pengalaman menarik seputar Pajak Penghasilan, yuk share di kolom komentar di bawah! Siapa tahu pengalamanmu bisa membantu orang lain.
Posting Komentar