Fidyah Itu Apa Sih? Yuk, Pahami Pengertian dan Aturannya!

Table of Contents

Fidyah adalah istilah dalam hukum Islam yang merujuk pada denda atau tebusan yang wajib dibayarkan oleh seseorang yang tidak mampu menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan karena alasan syar’i (sesuai syariat), namun ketidakmampuan itu bersifat permanen atau sulit untuk menggantinya di kemudian hari. Kewajiban ini menjadi solusi agar seseorang tetap bisa memenuhi tanggung jawabnya kepada Allah SWT, meskipun tidak dalam bentuk berpuasa langsung.

Apa yang Dimaksud dengan Fidyah

Intinya, fidyah adalah pengganti puasa. Ini bukan hukuman, melainkan bentuk rukhsah (keringanan) yang diberikan Allah kepada hamba-Nya yang memang memiliki uzur (halangan) tertentu. Pembayaran fidyah ini bertujuan untuk memberi makan orang miskin sebagai ganti dari puasa yang ditinggalkan.

Siapa Saja yang Wajib Membayar Fidyah?

Tidak semua orang yang meninggalkan puasa diwajibkan membayar fidyah. Ada kondisi-kondisi spesifik yang membuat seseorang masuk dalam kategori wajib fidyah. Kategori-kategori ini didasarkan pada ketidakmampuan permanen atau kesulitan luar biasa untuk mengqadha (mengganti) puasa di lain waktu.

1. Orang Tua Renta atau Jompo

Seseorang yang sudah sangat tua, lemah, dan tidak memiliki kemampuan fisik untuk berpuasa tanpa membahayakan kesehatannya, maka ia boleh tidak berpuasa Ramadan. Sebagai gantinya, ia wajib membayar fidyah untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. Kondisi ini biasanya bersifat permanen karena faktor usia.

Mereka yang sudah jompo seringkali memiliki berbagai penyakit atau kondisi fisik yang membuatnya sulit berpuasa. Berpuasa bisa memperburuk kondisi kesehatan mereka atau bahkan membahayakan jiwa. Oleh karena itu, Islam memberikan keringanan melalui fidyah.

2. Orang Sakit yang Tidak Ada Harapan Sembuh

Orang yang menderita penyakit kronis atau menahun yang berdasarkan keterangan dokter ahli sangat kecil kemungkinan untuk sembuh dan tidak memungkinkan untuk berpuasa, juga masuk dalam kategori wajib fidyah. Mereka tidak hanya tidak bisa berpuasa saat ini, tetapi juga diprediksi sulit atau tidak akan pernah bisa mengganti puasa tersebut di kemudian hari karena sakitnya.

Penting untuk membedakan sakit yang sifatnya sementara (di mana wajib qadha) dengan sakit yang sifatnya permanen atau menahun (di mana wajib fidyah). Jika sakitnya bisa sembuh, kewajibannya adalah mengganti puasa (qadha) setelah sembuh.

3. Ibu Hamil

Ibu hamil yang khawatir bahwa puasanya akan membahayakan dirinya atau janinnya diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Para ulama berbeda pendapat mengenai kewajiban mereka. Pendapat yang kuat dari mazhab Syafi’i dan Ahmad menyebutkan bahwa jika kekhawatiran itu murni demi janin, maka ia wajib mengqadha puasa dan membayar fidyah. Namun, jika kekhawatiran itu demi dirinya sendiri, ia hanya wajib mengqadha saja.

Pendapat lain (seperti Hanafi) hanya mewajibkan qadha bagi ibu hamil. Namun, mayoritas ulama kontemporer cenderung mengambil jalan hati-hati, menyarankan qadha plus fidyah jika kekhawatiran demi janin. Ini adalah bentuk kehati-hatian dalam menjaga hak janin sekaligus hak Allah.

4. Ibu Menyusui

Sama halnya dengan ibu hamil, ibu menyusui yang khawatir puasanya akan membahayakan dirinya atau bayinya (mengurangi produksi ASI atau membahayakan kesehatannya) diperbolehkan tidak berpuasa. Jika kekhawatiran itu demi bayi, maka ia wajib mengqadha puasa dan membayar fidyah (menurut mazhab Syafi’i dan Ahmad). Jika kekhawatiran demi dirinya sendiri, maka hanya wajib mengqadha.

Keputusan untuk tidak berpuasa bagi ibu menyusui harus didasarkan pada kekhawatiran yang nyata dan beralasan, bukan sekadar merasa lelah. Konsultasi dengan tenaga kesehatan atau ahli gizi bisa membantu dalam mengambil keputusan ini. Fidyah dan qadha menjadi jalan keluar agar ibadah tetap tertunaikan.

5. Orang yang Meninggal Sebelum Mengqadha Puasa

Ini adalah kasus yang sedikit berbeda. Jika seseorang memiliki utang puasa Ramadan (misalnya karena sakit sementara atau bepergian) dan ia belum sempat mengqadha puasa tersebut hingga ia meninggal dunia, maka walinya (keluarga terdekat) dapat memilih untuk:
a) Mengqadha puasa atas nama si mayit (pendapat sebagian ulama, berdasarkan hadits).
b) Membayar fidyah untuk setiap hari utang puasa atas nama si mayit dari harta peninggalannya (pendapat mayoritas ulama, termasuk mazhab Syafi’i).

Opsi membayar fidyah atas nama mayit ini seringkali dipilih jika utang puasanya banyak atau sulit bagi ahli waris untuk mengqadhanya secara langsung. Fidyah yang dibayarkan diambil dari harta peninggalan si mayit sebelum dibagi waris, sama seperti pembayaran utang lainnya.

Dasar Hukum Fidyah dalam Islam

Kewajiban membayar fidyah bukanlah aturan yang dibuat-buat, melainkan memiliki landasan kuat dalam sumber hukum Islam, yaitu Al-Qur’an dan Hadits.

Dalam Al-Qur’an

Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 184:

”…dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya. Dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Ayat ini secara eksplisit menyebutkan kewajiban fidyah bagi orang-orang yang berat menjalankannya. Para ulama menafsirkan berat menjalankannya di sini sebagai ketidakmampuan yang bersifat permanen atau sulit diatasi, seperti yang dialami orang tua renta atau orang sakit kronis.

Dalam Hadits

Ada beberapa hadits yang juga menyinggung tentang fidyah, salah satunya adalah riwayat dari Ibnu Abbas RA mengenai orang tua renta. Beliau berkata:

Dahulu orang tua diberi keringanan dalam berpuasa. Mereka boleh tidak berpuasa dan memberi makan setiap hari (sebagai fidyah), dan ayat (QS. Al-Baqarah: 184) ini tidak dimansukh (dihapus hukumnya). (HR. Bukhari)

Hadits ini memperkuat bahwa fidyah adalah solusi bagi orang tua renta, menunjukkan bahwa keringanan ini memang berasal dari syariat.

Ijma’ (Konsensus Ulama)

Meskipun ada sedikit perbedaan pendapat dalam detail pelaksanaannya atau siapa saja yang wajib fidyah (terutama pada kasus ibu hamil/menyusui dan mayit), prinsip dasar kewajiban fidyah bagi orang yang tidak mampu berpuasa secara permanen sudah menjadi kesepakatan (ijma’) di kalangan ulama.

Bagaimana Fidyah Dihitung dan Dibayarkan?

Besaran fidyah telah dijelaskan dalam sumber hukum Islam.

Besaran Fidyah

Fidyah yang wajib dibayarkan adalah satu mud makanan pokok untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan.
* Satu mud adalah ukuran takaran yang setara dengan cakupan dua telapak tangan orang dewasa ketika ditadahkan. Dalam konversi ke satuan berat modern, satu mud diperkirakan sekitar 675 gram hingga 1 kg makanan pokok, tergantung jenis makanan pokok yang digunakan dan pendapat ulama. Misalnya, satu mud gandum, satu mud beras, atau satu mud kurma.
* Makanan pokok yang digunakan adalah makanan yang umum dikonsumsi di daerah setempat, misalnya beras di Indonesia.
* Fidyah wajib dibayarkan sejumlah hari puasa yang ditinggalkan. Misalnya, jika meninggalkan puasa 10 hari, maka fidyahnya adalah 10 mud makanan pokok.

Bentuk Pembayaran Fidyah

Ada dua cara utama pembayaran fidyah:

  1. Memberikan Makanan Pokok Secara Langsung: Memberikan satu mud makanan pokok (misalnya beras) kepada satu orang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. Contoh: Jika utang 5 hari, bisa memberi 5 mud beras kepada 1 orang miskin, atau 1 mud beras kepada 5 orang miskin.
  2. Memberikan Makanan Matang: Memberikan makanan matang (siap santap) setara dengan porsi makan kenyang satu orang untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. Ini lebih mudah dipraktikkan di masa sekarang, misalnya memberikan paket nasi lengkap. Contoh: Jika utang 5 hari, bisa memberikan 5 porsi makanan matang kepada 1 orang miskin, atau 1 porsi makanan matang kepada 5 orang miskin. Pendapat ini diterima oleh beberapa ulama kontemporer karena lebih praktis dan sesuai dengan tujuan fidyah yaitu memberi makan orang miskin.

Pembayaran Fidyah dengan Uang?

Membayar fidyah dalam bentuk uang tunai adalah topik yang masih menjadi khilaf (perbedaan pendapat) di kalangan ulama.
* Mayoritas Ulama (Mazhab Syafi’i, Maliki, Hanbali): Berpendapat fidyah harus dibayarkan dalam bentuk makanan pokok atau makanan matang, bukan uang. Mereka berpegang pada teks Al-Qur’an “memberi makan seorang miskin”.
* Sebagian Ulama (Mazhab Hanafi dan beberapa ulama kontemporer): Memperbolehkan pembayaran fidyah dengan nilai uang yang setara dengan harga satu mud makanan pokok. Mereka beralasan bahwa uang lebih bermanfaat bagi orang miskin karena bisa digunakan untuk membeli kebutuhan lain selain makanan.

Di Indonesia, banyak lembaga amil zakat atau organisasi keagamaan yang memfasilitasi pembayaran fidyah dalam bentuk uang, yang kemudian mereka konversikan menjadi makanan dan disalurkan kepada yang berhak. Ini memudahkan masyarakat yang ingin membayar fidyah. Jika memilih membayar dengan uang, pastikan jumlahnya setara dengan harga satu porsi makanan pokok atau makanan matang yang layak di daerah tersebut. Misalnya, standar fidyah sering ditetapkan setara dengan harga satu porsi makan untuk satu orang per hari.

Kapan Fidyah Dibayarkan?

Waktu pembayaran fidyah cukup fleksibel, namun ada beberapa pendapat mengenai waktu yang disunnahkan:

  • Setelah meninggalkan puasa: Bisa dibayarkan setiap hari setelah puasa hari itu ditinggalkan.
  • Ditunda hingga akhir Ramadan: Bisa juga dikumpulkan dan dibayarkan sekaligus di akhir bulan Ramadan.
  • Setelah Ramadan: Boleh dibayarkan setelah bulan Ramadan berakhir, namun disunnahkan untuk segera ditunaikan. Tidak boleh ditunda-tunda terlalu lama tanpa alasan.
  • Tidak boleh dibayar di muka (sebelum Ramadan): Fidyah baru wajib dibayarkan setelah puasa itu benar-benar ditinggalkan. Membayar fidyah untuk puasa Ramadan yang akan datang, sebelum Ramadan dimulai atau sebelum hari puasa itu tiba, umumnya tidak sah menurut mayoritas ulama.

Perbedaan Fidyah dengan Qadha dan Zakat

Masyarakat seringkali bingung membedakan fidyah, qadha, dan zakat. Ketiganya adalah kewajiban finansial dalam Islam, tetapi memiliki tujuan dan mekanisme yang berbeda.

Fidyah vs. Qadha

  • Fidyah: Pengganti puasa dalam bentuk memberi makan orang miskin. Wajib bagi orang yang tidak mampu berpuasa dan sulit/tidak bisa mengqadha (permanen).
  • Qadha: Mengganti puasa yang ditinggalkan dengan cara berpuasa di hari lain di luar bulan Ramadan. Wajib bagi orang yang sementara tidak bisa berpuasa (sakit sementara, bepergian, haid/nifas) dan masih memungkinkan untuk berpuasa di lain waktu.

Intinya, fidyah itu memberi makan, qadha itu berpuasa kembali. Pilihan antara keduanya tergantung pada jenis halangan berpuasa dan apakah masih ada harapan untuk berpuasa pengganti.

Fidyah vs. Zakat

  • Fidyah: Wajib dibayarkan karena meninggalkan puasa Ramadan akibat uzur tertentu. Tujuannya adalah memberi makan orang miskin sebagai pengganti ibadah puasa. Besarnya tergantung jumlah hari puasa yang ditinggalkan.
  • Zakat: Kewajiban mengeluarkan sebagian harta tertentu (seperti emas, perak, uang simpanan, hasil pertanian, dll.) yang telah mencapai nisab dan haul, untuk dibagikan kepada delapan golongan yang berhak (fuqara, masakin, amil, muallaf, riqab, gharimin, fisabilillah, ibnus sabil). Tujuannya untuk membersihkan harta dan membantu fakir miskin serta asnaf lainnya. Besarnya zakat berbeda-beda tergantung jenis harta (misalnya 2.5% untuk zakat maal).

Meskipun sama-sama diberikan kepada fakir miskin (salah satu golongan penerima), fidyah spesifik terkait pengganti puasa, sementara zakat lebih luas cakupannya sebagai pilar ekonomi Islam.

Hikmah dan Filosofi di Balik Kewajiban Fidyah

Fidyah bukan sekadar denda, melainkan memiliki banyak hikmah dan filosofi mendalam:

  1. Kemurahan dan Keringanan dari Allah: Fidyah menunjukkan betapa Islam adalah agama yang mudah dan tidak memberatkan. Bagi mereka yang benar-benar tidak mampu berpuasa, Allah memberikan solusi yang tetap memungkinkan mereka menunaikan kewajiban dan mendapatkan pahala.
  2. Solidaritas Sosial dan Kepedulian Terhadap Sesama: Fidyah mengarahkan pembayaran kepada orang miskin, secara langsung membantu memenuhi kebutuhan pangan mereka. Ini menumbuhkan rasa kepedulian dan solidaritas antara sesama muslim, terutama di bulan yang penuh berkah seperti Ramadan.
  3. Menjaga Kemaslahatan Diri: Bagi orang sakit kronis atau tua renta, memaksakan diri berpuasa bisa berbahaya. Fidyah memungkinkan mereka meninggalkan puasa tanpa dosa, menjaga kesehatan dan keselamatan diri mereka, yang juga merupakan bagian dari ajaran Islam.
  4. Nilai Pengganti Ibadah: Meski tidak bisa berpuasa langsung, fidyah menjadi bentuk pengganti yang bernilai di sisi Allah. Ini menunjukkan bahwa niat baik dan usaha maksimal untuk menjalankan perintah agama akan dihargai, meskipun bentuk pelaksanaannya berbeda karena uzur syar’i.
  5. Pendidikan Kedermawanan: Kewajiban fidyah mendidik jiwa untuk berbagi dan peduli terhadap mereka yang kurang beruntung, mengingatkan bahwa ada hak orang lain dalam harta kita.

Tips Praktis Membayar Fidyah

  • Hitung jumlah hari: Pastikan menghitung dengan tepat berapa hari puasa yang ditinggalkan dan wajib dibayar fidyahnya.
  • Tentukan penerima: Pilih orang miskin yang benar-benar berhak menerima. Prioritaskan kerabat dekat atau tetangga yang membutuhkan.
  • Pilih bentuk pembayaran: Putuskan apakah akan membayar dengan makanan pokok, makanan matang, atau melalui konversi uang (jika Anda mengikuti pendapat yang membolehkan, dan pastikan nilai uangnya sesuai).
  • Gunakan lembaga terpercaya: Jika membayar melalui lembaga, pastikan lembaga tersebut kredibel dan memiliki program penyaluran fidyah yang jelas kepada orang miskin.
  • Niatkan dengan ikhlas: Saat membayar fidyah, niatkan dalam hati bahwa ini adalah bentuk pengganti puasa yang ditinggalkan demi menjalankan perintah Allah.
  • Segerakan pembayaran: Meski ada kelonggaran waktu, lebih baik segera ditunaikan setelah utang puasa terkumpul (misalnya setelah Ramadan berakhir) agar tidak lupa atau terlewat.

Contoh Kasus Perhitungan Fidyah

Mari lihat beberapa contoh sederhana:

  • Pak Ahmad, 80 tahun, tidak berpuasa 30 hari Ramadan: Pak Ahmad wajib membayar fidyah 30 hari. Jika harga 1 mud beras setara Rp 10.000, maka fidyahnya adalah 30 hari * Rp 10.000 = Rp 300.000 (jika dibayar uang) atau 30 mud beras (jika dibayar beras). Fidyah ini diberikan kepada 30 orang miskin (masing-masing 1 mud/Rp 10.000) atau 1 orang miskin sejumlah 30 mud/Rp 300.000.
  • Ibu Siti, hamil, tidak berpuasa 7 hari karena khawatir dengan janinnya: Menurut pendapat yang mewajibkan fidyah dan qadha, Ibu Siti wajib mengqadha 7 hari puasa dan membayar fidyah 7 hari. Fidyahnya setara 7 mud makanan pokok atau nilai uangnya.
  • Almarhum Bapak Budi meninggal dengan utang puasa Ramadan tahun lalu sebanyak 5 hari: Ahli waris dapat membayar fidyah 5 hari atas nama Almarhum dari hartanya, setara 5 mud makanan pokok atau nilai uangnya.

Tabel ringkasan kewajiban bagi yang tidak berpuasa Ramadan:

Alasan Tidak Puasa Kondisi Kewajiban Catatan
Sakit Sementara, ada harapan sembuh Qadha Berpuasa pengganti setelah sembuh
Sakit Kronis, tidak ada harapan sembuh Fidyah Memberi makan miskin
Bepergian (Musafir) Qadha Berpuasa pengganti setelah pulang
Haid/Nifas Qadha Berpuasa pengganti setelah suci
Hamil/Menyusui Khawatir diri sendiri Qadha Berpuasa pengganti
Hamil/Menyusui Khawatir bayi/janin Qadha + Fidyah (kuat) Berpuasa pengganti & memberi makan miskin (pendapat Syafi’i, Ahmad)
Tua Renta/Jompo Tidak mampu berpuasa Fidyah Memberi makan miskin
Meninggal dengan utang puasa Belum sempat qadha puasa Ramadan Fidyah (umum) / Qadha Dibayar ahli waris dari harta mayit, atau diqadha ahli waris
Sengaja meninggalkan puasa Tanpa uzur syar’i Taubat + Qadha Tidak ada fidyah, kecuali jika tidak mampu mengqadha seumur hidup

Mengenai Fidyah untuk Orang yang Sengaja Tidak Berpuasa

Bagaimana dengan orang yang sengaja tidak berpuasa tanpa ada uzur syar’i? Misalnya karena malas atau menyepelekan. Kewajiban utama mereka adalah bertaubat dengan sungguh-sungguh dan mengqadha puasa yang ditinggalkan.

Para ulama sepakat bahwa fidyah bukanlah pengganti bagi orang yang sengaja meninggalkan puasa tanpa alasan yang dibenarkan syariat. Fidyah hanya berlaku bagi mereka yang memiliki uzur dan tidak mampu mengqadha. Seseorang yang sengaja meninggalkan puasa tidak gugur kewajiban qadhanya dengan hanya membayar fidyah. Bahkan, sebagian ulama berpendapat bahwa puasa yang ditinggalkan dengan sengaja tanpa uzur tidak bisa diganti (qadha), meskipun pendapat mayoritas tetap mewajibkan qadha sebagai bentuk minimal pengganti. Intinya, fidyah bukan solusi untuk kemalasan atau pelanggaran syariat yang disengaja.

Diagram Alir Sederhana Kewajiban Puasa/Penggantinya

mermaid graph TD A[Masuk Bulan Ramadan] --> B{Mampu Berpuasa?}; B -- Ya --> C[Wajib Berpuasa]; B -- Tidak --> D{Memiliki Uzur Syar'i?}; D -- Tidak --> E[Sengaja Tidak Puasa]; E --> F[Wajib Taubat dan Qadha]; D -- Ya --> G{Uzur Permanen / Sulit Qadha?}; G -- Ya --> H[Wajib Fidyah]; H --> I[Bayar Fidyah: Beri Makan Miskin]; G -- Tidak --> J[Uzur Sementara / Bisa Qadha]; J --> K[Wajib Qadha Setelah Uzur Hilang]; K --> L[Berpuasa Pengganti];
Diagram ini membantu visualisasi alur pengambilan keputusan terkait kewajiban puasa dan penggantinya.

Penutup

Fidyah adalah salah satu bentuk kemudahan dalam syariat Islam yang diberikan kepada hamba-Nya yang memiliki keterbatasan untuk menunaikan ibadah puasa Ramadan. Dengan memahami siapa saja yang wajib membayar fidyah, besaran, dan cara membayarnya, kita dapat menjalankan kewajiban ini dengan benar sesuai tuntunan agama. Membayar fidyah bukan hanya menggugurkan kewajiban, tetapi juga menjadi jembatan kebaikan yang menghubungkan kita dengan saudara-saudara kita yang membutuhkan, menyebarkan keberkahan Ramadan kepada mereka.

Semoga penjelasan ini bermanfaat dan memberikan pemahaman yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan fidyah.

Bagaimana pengalaman atau pemahaman Anda tentang fidyah? Adakah pertanyaan lain yang ingin Anda diskusikan? Yuk, bagikan di kolom komentar di bawah!

Posting Komentar