Biar Gak Keliru, Yuk Pahami Apa Itu Hadis Mutawatir!
Pernahkah kamu mendengar istilah mutawatir? Mungkin terdengar asing bagi sebagian orang, tapi konsep ini penting banget dalam memahami sumber ajaran Islam, terutama Hadits dan bacaan Al-Qur’an. Secara sederhana, mutawatir merujuk pada sesuatu yang disampaikan atau diriwayatkan oleh jumlah orang yang sangat banyak di setiap generasi, mulai dari sumber aslinya sampai kepada kita, sehingga mustahil mereka semua bersepakat untuk berbohong. Tingkat keyakinan yang diberikan oleh riwayat mutawatir ini setara dengan keyakinan kita terhadap keberadaan kota-kota besar di dunia, meskipun kita sendiri belum pernah mengunjunginya, karena saking banyaknya laporan yang konsisten dan independen tentang keberadaannya.
Mutawatir dalam Bahasa dan Istilah¶
Secara bahasa (etimologi), kata mutawatir berasal dari bahasa Arab yang bermakna berturut-turut, bersinambung, atau berulang-ulang tanpa jeda. Jadi, bayangkan sebuah aliran yang terus mengalir tanpa henti dari hulu ke hilir. Ini memberikan gambaran tentang transmisi atau penyampaian informasi yang terus-menerus dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Secara istilah dalam konteks Ilmu Hadits dan Ilmu Qira’at (ilmu tentang bacaan Al-Qur’an), mutawatir didefinisikan sebagai:
- Riwayat (baik itu Hadits atau bacaan Al-Qur’an) yang disampaikan oleh
- sejumlah perawi (orang yang meriwayatkan) yang
- banyak sekali di setiap thabaqah (tingkatan sanad atau generasi periwayat),
- yang jumlah perawi yang banyak itu mustahil secara akal sehat untuk mereka bersepakat dusta,
- dengan sandaran periwayatan yang didasarkan pada pancaindra (mendengar, melihat, atau merasakan),
- sehingga menghasilkan keyakinan yang pasti (ilmu yaqini atau ilmu dharuri) bahwa apa yang diriwayatkan itu memang benar adanya.
Mari kita pecah definisi ini agar lebih mudah dipahami. Bagian kuncinya adalah jumlah perawi yang banyak di setiap tingkatan sanad dan mustahil bersepakat dusta. Ini bukan soal cuma banyak di awal atau di akhir saja, tapi di setiap ‘mata rantai’ periwayatan dari Nabi Muhammad SAW (sebagai sumber Hadits) atau dari awal penurunan wahyu (untuk Al-Qur’an) sampai ke para ulama yang membukukannya atau mengajarkannya kepada kita.
Syarat-syarat Sebuah Riwayat Disebut Mutawatir¶
Untuk bisa dikategorikan sebagai mutawatir, sebuah riwayat harus memenuhi beberapa syarat penting. Syarat-syarat ini dirumuskan oleh para ulama Hadits dan Qira’at untuk memastikan tingkat keabsahan yang sangat tinggi:
1. Jumlah Perawi Harus Banyak di Setiap Tingkatan Sanad¶
Ini adalah syarat paling fundamental. Riwayat tersebut tidak boleh hanya diriwayatkan oleh satu atau dua orang saja di satu generasi, lalu tiba-tiba melonjak banyak di generasi berikutnya. Jumlah yang banyak ini harus konsisten di setiap lapisan generasi, mulai dari para Sahabat (yang mendengar langsung dari Nabi), Tabi’in (yang belajar dari Sahabat), Tabi’ut Tabi’in (yang belajar dari Tabi’in), dan seterusnya, hingga sampai ke ulama yang mengumpulkan riwayat tersebut dalam kitab-kitab.
Berapa minimal jumlah perawi yang dianggap ‘banyak’? Nah, ini menarik. Para ulama sendiri berbeda pendapat soal angka pastinya. Ada yang menyebut minimal 4, 10, 20, 40, bahkan 70 perawi di setiap tingkatan. Namun, intinya bukan pada angka spesifiknya, melainkan pada prinsipnya: jumlah tersebut harus cukup banyak sehingga secara logis dan empiris tidak mungkin mereka semua (di setiap tingkatan!) bersepakat untuk mengarang cerita palsu. Angka yang sering disebut-sebut sebagai angka minimal yang kuat adalah sepuluh atau lebih.
2. Kemustahilan Bersepakat Dusta¶
Ini adalah konsekuensi logis dari syarat pertama. Karena jumlah perawinya sangat banyak di setiap tingkatan, dan seringkali mereka berasal dari latar belakang, tempat, dan waktu yang berbeda-beda (atau setidaknya tidak memiliki kepentingan bersama untuk berbohong), maka secara akal sehat mustahil mereka bisa berkonspirasi untuk menciptakan kedustaan. Jika hanya dua atau tiga orang, mungkin saja mereka bisa bersekongkol. Tapi jika puluhan atau bahkan ratusan orang di setiap generasi melaporkan hal yang sama secara independen, peluang konspirasi itu hampir nol.
Bayangkan jika ada berita besar yang disaksikan oleh ribuan orang di berbagai lokasi. Jika laporan mereka konsisten, kita pasti yakin berita itu benar, bukan? Begitulah kira-kira prinsip mutawatir bekerja.
3. Sandaran Periwayatan Berbasis Pancaindra¶
Riwayat mutawatir harus didasarkan pada apa yang perawi lihat, dengar, atau alami secara langsung, bukan berdasarkan perkiraan, penalaran, atau kesimpulan logis semata. Misalnya, perawi mendengar langsung Nabi bersabda, atau melihat langsung Nabi melakukan sesuatu, atau merasakan langsung dampak dari perintah Nabi. Ini penting untuk memastikan bahwa informasi yang disampaikan adalah kesaksian langsung terhadap peristiwa atau ucapan, bukan interpretasi atau deduksi.
4. Konsisten dari Awal Sanad Hingga Akhir¶
Riwayat tersebut harus disampaikan dengan redaksi (untuk Mutawatir Lafzhi) atau makna (untuk Mutawatir Ma’nawi) yang sama atau serupa secara konsisten di setiap tingkatan sanad. Tidak ada perubahan mendasar atau kontradiksi yang signifikan antar riwayat dari generasi yang berbeda, yang mengindikasikan adanya pemalsuan atau kesalahan besar.
Jika semua syarat ini terpenuhi, maka riwayat tersebut mencapai tingkat mutawatir, dan ini adalah tingkat keabsahan tertinggi dalam klasifikasi Hadits maupun bacaan Al-Qur’an.
Mengapa Mutawatir itu Penting Banget?¶
Pentingnya riwayat mutawatir terletak pada keyakinan pasti (ilmu yaqini atau ilmu dharuri) yang dihasilkannya. Ketika sebuah riwayat mencapai tingkat mutawatir, kita wajib menerima kebenarannya tanpa keraguan sedikitpun, sebagaimana kita yakin bahwa api itu panas, atau bahwa bumi itu bulat (meskipun mungkin kita belum pernah melihatnya dari luar angkasa, tapi laporan dari banyak sumber membuat kita yakin).
Dalam Islam, mutawatir memiliki peran krusial dalam:
- Akidah (Keyakinan): Hal-hal yang berkaitan dengan pokok-pokok keyakinan (rukun iman, sifat Allah, hari akhir, surga neraka, dsb.) yang ditetapkan berdasarkan dalil yang mutawatir akan menghasilkan keyakinan yang qat’i (pasti). Ini adalah fondasi yang sangat kokoh untuk membangun keyakinan seorang Muslim.
- Fiqh (Hukum Islam): Meskipun Hadits Ahad yang sahih juga merupakan sumber hukum dalam fiqh, dalil yang mutawatir memberikan dasar hukum yang tidak bisa disangkal keabsahannya. Ketetapan hukum yang didasarkan pada mutawatir bersifat pasti.
- Keaslian Al-Qur’an: Salah satu bukti utama keaslian Al-Qur’an adalah cara transmisinya yang bersifat mutawatir dari awal hingga kini. Bacaan (qira’at) Al-Qur’an yang sah adalah yang diriwayatkan secara mutawatir dari Rasulullah SAW melalui malaikat Jibril. Ini memberikan jaminan bahwa Al-Qur’an yang kita baca saat ini persis sama dengan yang diajarkan Nabi.
Singkatnya, mutawatir adalah standar emas untuk kepastian dalam periwayatan agama. Ia adalah pilar penting yang menjaga kemurnian ajaran Islam dari pemalsuan atau keraguan.
Mutawatir vs. Ahad: Apa Bedanya?¶
Selain mutawatir, klasifikasi Hadits yang paling umum adalah Ahad (atau Khabar Ahad). Perbedaan mendasarnya terletak pada jumlah perawi.
- Mutawatir: Diriwayatkan oleh jumlah perawi yang sangat banyak di setiap tingkatan sanad, yang mustahil bersepakat dusta, dan menghasilkan keyakinan pasti (yaqini).
- Ahad: Diriwayatkan oleh jumlah perawi yang tidak mencapai kriteria mutawatir. Ini bisa satu orang (gharib), dua orang (aziz), atau beberapa orang (masyhur), tetapi jumlahnya tidak sebanyak mutawatir di setiap tingkatan. Riwayat Ahad yang sahih (memenuhi syarat kesahihan lainnya seperti sanad bersambung, perawi adil dan dhabit, tidak ada syadz dan illat) menghasilkan keyakinan dzanni (probabilistik atau kuat dugaan), bukan pasti.
Kedua jenis Hadits ini sama-sama penting sebagai sumber hukum dalam Islam. Hadits Ahad yang sahih adalah sumber hukum yang sangat luas dan digunakan dalam berbagai masalah fiqh. Namun, untuk masalah-masalah akidah yang fundamental, biasanya para ulama mensyaratkan dalil yang mutawatir untuk mencapai keyakinan yang pasti. Ini adalah perbedaan metodologi yang penting dalam studi Islam.
Macam-macam Mutawatir¶
Para ulama membagi mutawatir menjadi beberapa jenis, tergantung pada aspek apa yang diriwayatkan secara mutawatir:
1. Mutawatir Lafzhi (Mutawatir dalam Redaksi)¶
Yaitu riwayat yang memiliki redaksi (teks) yang sama persis atau sangat mirip, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi di setiap tingkatan sanad. Ini adalah tingkat mutawatir yang paling kuat dan paling jarang ditemukan.
Contoh paling terkenal adalah Hadits:
“مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ”
(Man kadzaba ‘alayya muta’ammidan falyatabawwa’ maq’adahu minan naar)
Artinya: “Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya di neraka.”
Hadits ini diriwayatkan oleh lebih dari 70 Sahabat Nabi, dan terus diriwayatkan oleh jumlah yang sangat banyak di setiap generasi setelahnya dengan redaksi yang практически sama.
2. Mutawatir Ma’nawi (Mutawatir dalam Makna)¶
Yaitu riwayat yang memiliki makna atau konsep yang sama, meskipun redaksi atau teksnya berbeda-beda. Jumlah perawi yang banyak di setiap tingkatan itu meriwayatkan peristiwa atau ucapan Nabi yang intinya sama, meskipun cara penyampaiannya sedikit berbeda.
Contoh: Hadits-hadits tentang Syafaat di Hari Kiamat. Ada banyak sekali Hadits tentang syafaat dari Nabi, dengan redaksi yang bermacam-macam. Namun, makna globalnya bahwa Nabi Muhammad SAW akan memberikan syafaat kepada umatnya pada Hari Kiamat diriwayatkan oleh jumlah perawi yang sangat banyak, sehingga makna tersebut bersifat mutawatir. Begitu juga Hadits-hadits tentang melihat Allah di akhirat (Ru’yatullah), maknanya diriwayatkan secara mutawatir meskipun lafaznya berbeda-beda.
3. Mutawatir ‘Amali (Mutawatir dalam Praktik)¶
Ini bukan Hadits dalam bentuk ucapan atau teks, melainkan berupa praktik ibadah atau perbuatan yang ditransmisikan secara turun-temurun oleh jumlah orang yang sangat banyak di setiap generasi. Praktik ini disaksikan, ditiru, dan diajarkan oleh orang banyak, sehingga mustahil ada penyimpangan besar.
Contoh paling jelas adalah tata cara shalat lima waktu, tata cara haji, atau lafaz azan. Kita melihat miliaran Muslim di seluruh dunia melakukan shalat dengan gerakan dan bacaan yang esensialnya sama, karena mereka mempelajarinya dari generasi sebelumnya yang juga mempelajarinya dari generasi sebelumnya, hingga sampai kepada praktik Nabi Muhammad SAW. Praktik shalat ini tidak mungkin tiba-tiba diciptakan atau diubah secara fundamental oleh sekelompok orang, karena transmisi ‘amali (praktik)nya bersifat mutawatir.
Al-Qur’an sendiri, selain lafaz dan maknanya, cara membacanya (qira’atnya) yang sampai kepada kita melalui jalur-jalur yang mutawatir adalah contoh Mutawatir ‘Amali yang paling agung. Para sahabat belajar cara membaca Al-Qur’an langsung dari Nabi, Tabi’in belajar dari Sahabat, dan seterusnya, dengan sanad qira’at yang terus bersambung dan diriwayatkan oleh jumlah yang sangat banyak di setiap tingkatan.
Sejarah dan Pengembangan Konsep Mutawatir¶
Konsep mutawatir tidak muncul begitu saja. Ia berkembang seiring dengan kebutuhan para ulama untuk memverifikasi dan menjaga keaslian riwayat Hadits. Pada masa-masa awal Islam, terutama di era Sahabat dan Tabi’in, transmisi Hadits masih sangat dekat dengan sumbernya. Namun, seiring dengan meluasnya wilayah Islam dan munculnya potensi pemalsuan Hadits, para ulama Hadits mulai mengembangkan metodologi yang ketat untuk meneliti sanad (rantai perawi) dan matan (isi Hadits).
Konsep mutawatir muncul sebagai kategori Hadits tertinggi yang memberikan kepastian mutlak, sebagai kontras dari Hadits Ahad yang perlu diteliti lebih lanjut tingkat kesahihannya (apakah shahih, hasan, atau dha’if) berdasarkan kriteria perawi (adil, dhabit) dan sanad (bersambung, tidak syadz, tidak illat).
Para ulama seperti Imam Syafi’i, Imam Bukhari, Imam Muslim, dan lainnya, meskipun belum tentu menggunakan istilah ‘mutawatir’ secara kaku seperti definisi belakangan, mereka sudah membedakan antara riwayat yang diriwayatkan oleh banyak jalur dan riwayat yang diriwayatkan oleh sedikit jalur. Kemudian, para ulama di era berikutnya merumuskan kriteria mutawatir secara lebih eksplisit, dan bahkan ada yang mencoba menghimpun Hadits-hadits yang dianggap mutawatir dalam kitab-kitab khusus, seperti Al-Azhar al-Mutanathirah fi al-Akhbar al-Mutawatirah karya Imam As-Suyuthi.
Tantangan dalam Mengidentifikasi Mutawatir¶
Meskipun konsepnya jelas, secara praktis mengidentifikasi sebuah Hadits sebagai mutawatir tidaklah mudah. Ini membutuhkan penelitian sanad yang sangat mendalam di setiap tingkatan, menelusuri semua jalur periwayatannya, dan memastikan jumlah perawi yang banyak serta mustahil bersepakat dusta itu benar-benar ada.
Inilah mengapa tugas identifikasi Hadits mutawatir sebagian besar merupakan domain para ulama Hadits yang memiliki keahlian mendalam dalam bidang ini. Bagi orang awam, kita biasanya merujuk pada kesimpulan para ulama mengenai status sebuah Hadits. Jumlah Hadits mutawatir dalam koleksi Hadits Nabi tidak sebanyak Hadits Ahad. Sebagian ulama menyebut jumlah Hadits mutawatir lafzhi hanya sekitar puluhan, sedangkan mutawatir ma’nawi jumlahnya lebih banyak.
Namun, jumlah yang sedikit ini bukan berarti mengurangi pentingnya Hadits secara keseluruhan. Ingat, Hadits Ahad yang sahih tetap merupakan sumber ajaran Islam yang valid dan krusial dalam berbagai aspek kehidupan Muslim.
Kesimpulan: Mutawatir adalah Fondasi Kepastian¶
Jadi, apa yang dimaksud dengan mutawatir? Ia adalah istilah kunci dalam studi Islam yang merujuk pada riwayat (Hadits atau bacaan Al-Qur’an) yang disampaikan melalui jalur transmisi yang super kuat dan banyak, memastikan keaslian dan kebenarannya pada tingkat pasti. Ini seperti memiliki ratusan atau ribuan saksi mata yang independen untuk satu kejadian yang sama, yang laporannya konsisten.
Memahami konsep mutawatir membantu kita menghargai upaya luar biasa para ulama di masa lalu dalam menjaga kemurnian ajaran Islam. Ia memberikan kita keyakinan mutlak terhadap keaslian Al-Qur’an dan beberapa Hadits fundamental yang menjadi pilar akidah dan praktik ibadah kita. Meskipun Hadits Ahad yang sahih juga penting, mutawatir memberikan dasar yang tak tergoyahkan untuk hal-hal yang paling mendasar dalam agama kita.
Semoga penjelasan ini membuat konsep mutawatir jadi lebih mudah dipahami ya! Ini adalah salah satu bukti betapa telitinya ulama Islam dalam memverifikasi sumber ajaran agama mereka.
Punya pertanyaan lain atau ingin berbagi pandanganmu tentang mutawatir? Yuk, diskusikan di kolom komentar!
Posting Komentar